About Me

Subscribe now!Feeds RSS

Jejaring Saya

Donate Us

Menu Pesanan Anda:

Delivered by FeedBurner


Masukkan Code ini K1-FB4EEF-F
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

terhidang bersama secangkir teh hangat

Senin, 03 Agustus 2009

Bangsa Carut-Marut; Negeri Salah Urus*

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kawan-kawan MASSA (Masyarakat-Seniman Samarinda), dan para hadirin semua. Saya diberi kehormatan untuk memberikan ”orasi kebudayaan” pada acara ini. Saya tidak berniat memberi kuliah apalagi men-guru-i, ini hanya berupa lontaran pendapat dan berbagi kegelisahan saja.

Kebudayaan adalah salah satu kosa kata tertua dalam peradaban umat manusia. Setiap ruang dan masa, sejak peradaban Yunani kuno sampai “peradaban global” saat ini mengenal terminologi ini. Namun artikulasi makna dan tafsir akan istilah ini selalu berbeda dan juga tidak tunggal, bahkan selalu berubah seiring dengan dialektika gerak zaman. Bahkan dalam desa (ruang), kala (waktu), dan patra (konteks) yang sama sekali pun selalu saja ada beda makna, terbuka beberapa kemungkinan tafsir. Diskursus mengenai kebudayaan ini selalu dibarengi perseteruan abadi antara tafsir dominan yang hegemonik dan tafsir subaltern sebagai perlawanan.

Ingatlah konstruksi ”politik kebudayaan” ORDE BARU yang membagi kebudayaan secara simetris; kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Sehingga melahirkan dualisme terminologis yang ber-oposisi biner; high culture dan low culture; kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendahan. Bukti konkritnya TMII (Taman Mini Indonesia Indah) yang merepresentasikan satu wilayah politik satu identitas kebudayaan. Dan saat ini pemerintah menjadi kebingungan setelah propinsinya menjadi 33 (tiga puluh tiga), karena tidak ada lagi tanah / tempat yang tersisa di TMII untuk membangun rumah adat baru sebagai penanda identitas kebudayaan sebuah propinsi baru.

Dan wajar ketika ada kawan, seorang guru kesenian di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dengan mimik sedih namun serius menyatakan bahwa, ”setelah saya berkunjung ke TMII, saya baru sadar bahwa saya ini memang bukan warga negara Indonesia, saya dianggap bukan bagian dari negeri ini, kebudayaan saya dinafikan / ditiadakan.” Betapa banyak kebudayaan di negeri ini yang disepelekan, dianggap kebudayaan rendahan, bahkan yang lebih ironis dianggap bukan kebudayaan sama sekali. Sebuah kesalahan berpikir (dan juga bertindak) yang sangat fatal.

Peta kebudayaan dibagi berdasarkan pemetaan administratif (geo-politik). Padahal kita tahu bahwa watak dasar kebudayaan adalah ”fluiditas”, ”cair”, ”abu-abu”, bukan ”order” apalagi ”fixed”. Kebudayaan selalu bergerak, dinamis, tidak monoton, apalagi stagnan. Sehingga yang paling real dalam kebudayaan dan juga (mungkin) dalam kehidupan adalah perjumpaan, akulturasi, saling tukar-menukar, pinjam-meminjam, dan seterusnya.

Sehingga ada baiknya kita merenungi ulang ”kemarahan” kita pada negeri tetangga Malaysia, yang mengakui Reog Ponorogo sebagai Barongan yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka. Coba kita pikir, seandainya India keberatan dengan kebudayaan Wayang di Jawa. Dari mana cerita Wayang (Ramayana dan Mahabrata) ini berasal...???. Mestinya kemarahan kita harus proporsional. Isu Hak Cipta, HAKI, Paten, dst. adalah isu ekonomi, di sisi yang lain isu Reog, Barongan, Wayang, dst. adalah isu kebudayaan yang mestinya diperlakukan secara proporsional.

Dalam konteks ini ke-asli-an menjadi tanda tanya besar...???. Adakah yang asli itu...??? Ataukah yang paling asli adalah percampuran itu sendiri...???.

Sejatinya, kebudayaan adalah totalitas kehidupan itu sendiri. Culture is ”the whole of our life”. Kebudayaan adalah bagian integral dari kedirian kita, atau bahkan diri itu sendiri. Kalau kita memahami ini, maka slogan-slogan “pembinaan”, “pelestarian”, “mempertahankan”, “menjaga”, “filter(isasi)” budaya, dst. sungguh istilah yang tidak tepat, bahkan tidak perlu.

Kawan-kawan, bapak ibu hadirin sekalian…

Dari prolog di atas, saya ingin menegaskan bahwa kesalahan fatal negeri kita selama ini karena tidak pernah menjadikan isu kebudayaan sebagai basis pengambilan kebijakan. Alih-alih, kebudayaan malah dijadikan alat hegemoni, pengendali kekuasaan dalam membangun floating mass, bukan critical mass yang bisa meronrong dan mengguncang tampuk-tampuk kekuasaan. Sehingga wajar kemudian kalau kebudayaan itu ter(di)reduksi hanya sekedar kesenian semata, tampilan artistik yang kaedah artistiknya sekalipun juga sangat Eropa sentris. Tidak mengacu pada kaedah ”lokal”, kaedah kebudayaan, kesenian, dan tradisi nusantara yang sangat beragam, yang merupakan mozaik kebudayaan negeri ini.

Dalam konteks ini wajar saja kalau pembangunan kita pun selalu saja berorientasi ke pembangunan fisik. Bukan pembangunan ”identitas dan jati diri bangsa” yang selama ini digaungkan sebagai retorika politik oleh para pejabat, birokrat, dan juga para politisi kita. Ironisnya lagi, institusi pendidikan sekalipun (khususnya pendidikan budaya dan seni) ikut latah menjadi penyokong, bahkan sumber ide-ide bagi pembangunan kebudayaan yang ”order” dan ”fixed” tersebut. Penataan pembangunan sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah mendasarkan diri pada ide-ide, nilai-nilai, dan juga substansi sebuah kebudayaan. Sehingga kita mungkin bisa memaklumi kenapa beberapa daerah dalam wilayah NKRI ini pernah bergolak untuk ”merdeka”, atau paling tidak menuntut ”otonomi khusus” dalam mengelolah wilayahnya.

Mungkin ada baiknya kita merenungi secara serius sebuah suara lirih nan sumbang dari salah satu sudut marginal negeri ini. Suara komunitas To Wana di Cagar Alam Morowali, Sulawesi Tengah, ketika menggaungkan sebuah artikulasi politik ”Tare Kampung, Tare Agama, Tare Pamarenta”. Semboyan yang kurang lebih bermakna ”Tidak ada Kampung, Tidak ada Agama, Tidak ada Pemerintah” ini pasti bukan mengada dengan sendirinya. Artikulasi politik yang sangat keras ini pasti juga dikendalikan oleh sebuah sebab yang juga sama kerasnya.

Negasi rakyat atas tiga institusi negara Indonesia modern ini harus dibaca sebagai reaksi balik warga atas berbagai kebijakan ekonomi-politik-kebudayaan yang selama ini tidak memihak atas kepentingan warga. Dalam kasus komunitas To Wana khusus dalam soal agama, mereka telah mengalami ”normalisasi warga” sejak zaman kolonial, yang diwarisi secara hampir sempurna oleh Soeharto, bahkan sampai saat ini. Kasus-kasus kekerasan berbasis agama dan etnik belakangan ini juga harus dilihat sebagai kegagalan kebijakan politik kewargaan yang selama ini dianut dan diadopsi oleh negara, dst, dst.....

Kawan-kawan, bapak ibu hadirin sekalian…

Dalam konteks Kalimantan Timur, ”kita” atau paling tidak saya dan beberapa kawan di komunitas diskusi kami, saat ini sedang resah, gelisah, melihat benih-benih konflik atas nama etnik dan agama yang setiap saat bisa meledak. Apalagi dalam konteks suhu politik menjelang Pilkadal Gubernur 2008 yang sedang dalam stadium tingkat tinggi. Istilah-istilah ”putera daerah”, ”indigenous people”, ”penduduk asli”, selalu saja ber-oposisi biner dan dihadap-hadapkan dengan istilah pendatang. Ini diperparah dengan kenyataan bahwa hampir semua posisi kunci di sektor ekonomi dan politik di Kalimantan Timur ini tidak dikendalikan oleh yang mengklaim diri sebagai ”penduduk asli” tersebut.

Ingat ”kasus” Cafe Crown, Nunukan, dan juga ”kasus” TNK (Taman Nasional Kutai)...!!!. Dan harus digarisbawahi bahwa semua program pemerintah terkait persoalan-persoalan seperti ini, entah itu berlabel ”kerukunan”, ”perdamaian”, ”tukar-menukar kebudayaan”, dst, hanya sekedar lip service, pemanis bibir yang tidak pernah menyentuh persoalan. Ini sekali lagi karena kebijakan negeri ini gagal dan tidak mampu mengikuti perkembangan politik dan diskursus kewargaan --semisal otonomi daerah, otonomi khusus, dsb,-- dalam mengelolah perbedaan dalam kemajemukan yang menjadi ciri khas NKRI ini.

Di sisi lain, saya berani bertaruh bahwa dari sekian calon Gubernur yang sudah gembar-gembor kesana-kemari, tidak satu pun yang pernah menjadikan isu pembangunan berbasis kebudayaan sebagai basic issue dalam program kampanye mereka. Saya tidak tahu apakah ini karena ”ketotolan” mereka atau karena mereka memang tidak pernah mau serius mengurusi dan membangun negeri ini. Kepemimpinan tak lebih dimaknai sekedar sebagai kekuasaan ekonomi-politik, kuasa atas eksploitasi sumber daya ekonomi. Kepemimpinan hanya didorong oleh syahwat untuk populer dan menjadi kaya. Sungguh ironis...

Dengan ini saya nyatakan bahwa perjuangan kita masih panjang kawan...!!!. Kita butuh pelari-pelari marathon yang tangguh, yang punya nafas panjang dalam mengawal perubahan. Bukan pelari-pelari sprint, yang hanya butuh berlari 100 meter dan menjadi jawara mengalahkan yang lain. Kita butuh pejuang-pejuang yang tidak berpikir dan berorientasi menang-kalah. Karena sesungguhnya yang paling indah dalam hidup adalah berbagi dengan sesama tanpa tendensi dan tanpa melihat latar belakang apapun (agama, etnik, suku, kelas sosial, borjuasi-proletar, kaya-miskin, bangsawan-budak, putih-hitam, dst, dst....).

Sekian dan terima kasih, semoga bermamfaat dan bisa menjadi bahan renungan kita semua mengawali tahun 2008, kalau kita niscaya waktu itu berubah.

Catatan:

*“orasi budaya” A Azis dalam ”Aksi Keprihatinan dan Refleksi Akhir Tahun” Masyarakat-Seniman Samarinda, Dermaga Tepian Samarinda, 29 Desember 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar