DALAM perdebatan publik tentang Neoliberalisme, yang tampak mengemuka dari perdebatan
tersebut lebih ke arah pencarian pengertian atau definisi yang pas, tentang apa itu
neoliberalisme. Masing-masing kubu datang membawa daftar definisinya, sementara praktek
neoliberlisme itu sendiri sudah berlangsung.
Yang kurang dari perdebatan itu adalah, tidak bergemanya suara dari mereka yang paling
tertindas akibat penerapan kebijakan neoliberal tersebut: suara rakyat pekerja. Untuk itu,
dalam kesempatan ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS, melakukan perbincangan dengan
Anwar Ma’ruf, koordinator Aliansi Buruh Menggugat (ABM). Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Apa alasan mendasar dari pembentukan ABM?
Anwar Ma’ruf (AM): Minimal ada dua alasan yang mendasari mengapa kami harus membentuk ABM.
Pertama, kegelisahan kami (dari kalangan gerakan buruh progresif) tentang kekosongan
kepemimpinan politik gerakan dari kaum buruh yang sanggup dan mampu berhadap-hadapan dengan
organisasi pengusaha dan negara/pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk menaikan posisi tawar
kaum buruh serta mampu memperjuangkan kesejahteraan dan kebijakan yang berpihak pada
kepentingan kaum buruh dan keluarganya. Panggung-panggung politik perburuhan seperti
tripartit nasional, dewan pengupahan dll masih dikuasai oleh elit-elit serikat kuning, yang
mayoritas masih terkooptasi oleh rejim. Contohnya, banyak perselingkuhan dalam berbagai
penentuan kebijakan seperti dijadikan legitimasi dalam pembuatan Undang-Undang Perburuhan,
penetapan upah minimum dan kebijakan-kebijakan yang anti buruh lainnya.
Kedua, agar gerakan buruh bisa memenangkan kepemimpinan gerakan, mau tidak mau harus ada
kesadaran akan pentingnya membangun persatuan di kalangan gerakan buruh, yang realitasnya
masih terkotak-kotak, sebagai dampak dari UU No 21/2000 ttg SP/SB, dimana serikat buruh
menjamur bak jamur di musim hujan. Tercatat lebih dari 97 Federasi nasional (waktu itu,
sekarang 180an SB nasional). Maka dibutuhkan konsolidasi yang besar dan luas, yang
pembangunannya pun bertahap. Dari aliansi taktis ke aliansi programatis atau strategis,
kemudian sampai pada pembentukan konfederasi serikat buruh yang progresif.
Ketiga, adanya momentum besar dimana hampir semua serkat buruh pada waktu itu sedang melawan
revisi UUK No. 13/2003 ttg kenetenagakerjaan. Momentum tersebut yang mendorong kami untuk
berkonsolidasi dari berbagai serikat yang kemudian membentuk ABM.
IP: Apa yang membedakan ABM dengan koalisi gerakan buruh yang lain?
AM: Secara sederhana yang membedakan, ABM adalah aliansi programatik. Dimana dalam sejarah
beraliansi, khususnya paska reformasi, telah terbentuk berbagai aliansi sebut saja KASM,
KAPB dll, namun aliansi yang dibangun adalah aliansi taktis berdasarkan isu dan ketika
isunya memudar hilang pula alinasinya. Kemudian yang tidak kalah penting adalah Platform,
Program dari aliansi serta struktur.
Paska May Day 2006, kami melakukan konferensi nasional, tentu dengan melibatkan
perwakilan-perwakilan serikat buruh baik tingkat nasional maupun daerah. Waktu itu dihadiri
oleh 33 organisasi buruh dari 17 propinsi. Di situlah mandat seperti platform, program dan
struktur disepakati.
IP: Apa tujuan utama pembentukan ABM?
AM: Sebagai wadah konsolidasi gerakan buruh yang berposisi jelas berada pada kepentingan
kaum buruh dan keluarganya. Artinya, bukan perjuangan yang mengatasnamakan kaum buruh atau
gerakannya sekelompok elit serikat. Selain itu muara yang kami tuju adalah terbangunya
Konfederasi serikat buruh progresif.
IP: Bagaimana ABM memandang penerapan kebijakan neoliberal pasca reformasi?
AM: Kebijakan neoliberal pasca reformasi terjadi semakin massif dan menyengsarakan rakyat
pekerja Indonesia. Dimulai dan diterapkannya dengan perubahan kebijakan atau yang biasa
disebut reformasi Undang-Undang Perburuhan (versi pemerintah dan ILO), yakni UU SP/SB
21/2000, UU K no. 13/2003 dan UU PPHI no. 2/2004. Tentu semua sektor-sektor perburuhan
terkena dampak, langsung maupun tidak langsung seperti; hilangnya peran negara dalam
melindungi buruh, hilangnya jaminan keamanan dan kepastian kerja (massifnya kontrak -
outsourcing), upah yang secara nilai terus menurun, dirampoknya aset-aset strategis negara
melalui privatisasi, terjadinya pemberangusan serkat dsb-nya.
Maka dalam diskusi, baik sebelum dan saat konferensi Nasinal ABM, disepakati empat platform
anti neoliberalisme: Hapus Utang, Nasionalisasi aset-aset vital/strategis negara, bangun
industrialisasi nasional yang kuat dan mandiri, dan pemberantasan korupsi dengan menyita
harta para koruptor untuk dana pembangunan.
IP: Strategi perlawanan seperti apa yang dilakukan ABM menghadapi penerapan kebijakan
neoliberal tersebut?
AM: Kami memulai dari apa yang dirasakan langsung oleh kaum buruh, yakni
kontrak-outsourcing, upah murah, privatisasi dan pemberangusan serikat. Juga secara
terus-menerus mengampayekan empat platform anti neolib tersebut, dan ternyata mampu menarik
sektor-sektor di luar sektor manufactur dan perkebunan, seperti kawan-kawan di sektor BUMN.
Yang menarik, dalam tataran teoritik seperti salah satu mandat dari respons terhadap UU
Ketenagakerjaan adalah dibutuhkan Undang-Undang Pro Buruh atau perlindungan buruh.
Perkembangannya sudah ada draft dalam bentuk naskah akademik dan dokumen-dokumen penjaringan
aspirasi dari w-shop di 14 kota yang kami gelar (tinggal dirumuskan menjadi draft jadi).
Dalam draft ini akan mengatur sistem perburuhan yang lebih berpihak pada kaum buruh dan
tegas melawan labor market fleksibility.
Dan ketika merspons upah, kami mencoba membuat konsepsi upah tandingan yakni ULN (upah layak
nasional), walaupun dalam proses kampanyenya nilai angka yang naik dari pada konsepnya
karena masih lemah atau sulitnya berkampaye di publik.
Kemudian untuk mencakup isu secara keselurahan, kami menggunakan bahasa sederhana sebagai
arti neoliberalisme yakni Lawan Penjajahan Gaya Baru. Dan yang dilakukan oleh ABM tidak
hanya di Jakarta, tetapi secara menyeluruh di wilayah atau daerah dimana ada struktur ABM
atau anggota ABM berada.
Selain itu kami juga aktif menggalang konsolidasi multi sektor, semisal dengan kawan-kawan
serikat tani, nelayan, lingkungan dan gerakan rakyat lainnya. Untuk melawan neoliberalisme
dibutuhkan konsolidasi yang besar, luas dan kuat, serta tidak cukup hanya di sektor buruh
saja. Juga peningkatan secara kualitif gerakan, yakni kebutuhan akan pembangunan alat
politik rakyat pekerja. Dalam setiap kampaye kami, platform ABM tidak akan pernah dijalankan
oleh pemerinahan borjuis dan antek kaum modal.
IP: Apa pengalaman perjuangan terpenting ABM dalam menentang kebijakan neoliberal?
AM: Terlepas masih banyaknya kekurangan kami dari berbagai hal, patut disyukuri ABM bisa
besar dan bertahan karena ada beberapa kemenangan kecil yang dicapai seperti: gagalnya
revisi UUK 13/2003, juga ketika merespons SKB 5 menteri dan kebijakan-kebijakan lainnya di
daerah-daerah.
Selain itu, adanya konsep-konsep atau draft yang mampu di buat seperti Draft UU Perlindungan
Buruh, ULN dan lain-lain. Ini membuat suatu keyakinan dan kepercayaan bertambah.
Kemudian mulai adanya hubungan atau konsolidasi dengan sektor perburuhan lainnya, khususnya
serikat-serikat di perusahaan BUMN. Juga dengan mulai diterimanya konsolidasi yang lebih
luas lagi atau multi sektor. Sebagai contoh, mulai menyandingkan program Industrialisasi
Nasional, Reforma Agraria dan Keadilan Ekologis, yang terjadi baik dalam ruang-ruang
perdebatan maupun dalam aksi-aksi massa.
Tetapi kami sadar, kondisi ini masih jauh dari kemenangan sejati kaum buruh dan rakyat
pekerja lainnya. Dibutuhkan kerja keras, keuletan dan kesadaran yang tinggi dalam meneruskan
perjuangan, agar dapat mencapai kemenangan dari tahap demi tahapnya. Maka itu, dukungan dan
keterlibatan dari berbagai kalangan dari kawan-kawan yang masih segaris, sangat
dibutuhkan.
***
Sumber : IndoProgress
Selasa, 04 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar