About Me

Subscribe now!Feeds RSS

Jejaring Saya

Donate Us

Menu Pesanan Anda:

Delivered by FeedBurner


Masukkan Code ini K1-FB4EEF-F
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

terhidang bersama secangkir teh hangat

Selasa, 04 Agustus 2009

Perang Gaza dan Terorisme Global

Oleh VALENS DAKI-SOO

Perhatian dunia kini tercurah ke kawasan Timur Tengah, yang kembali membara. Setelah meluncurkan serangan udara secara sistematis dan massif ke Jalur Gaza lebih dari sepekan, pasukan darat Israel merangsek, masuk ke basis pejuang Hamas. Meski Israel berdalih rangkaian serangan tersebut untuk meredam serangan roket dan mortir Hamas, "cara bertindak" militer Israel sama sekali bukan imbangan aksi Hamas.

Sejak awal, serangan Israel diluncurkan sangat intensif. Padahal, serangan roket dari Jalur Gaza tidak efektif, tampak sekadar "mengganggu", berdaya jangkau jauh dari jantung Israel. Serangan roket Hamas yang tidak seberapa destruktif itu dibalas dengan bom-bom berdaya ledak jauh lebih hebat, dipandu laser yang menjamin akurasi tinggi.

Ketidak-imbangan itu kuat tercermin pada paparan kekuatan militer Israel, yang disiagakan untuk bertempur melawan Hamas. Jumlah tentara Israel dan kekuatan pendukung (bantuan tempur) yang di-deploy untuk menusuk ke Gaza mencerminkan kesungguhan Israel untuk menguasai wilayah itu, tidak sekadar meredam Hamas.

Jubir militer Israel, Mayor Avital Leibovich, menyatakan, pihaknya telah menyiagakan ribuan tentara di sepanjang garis perbatasan sejak bombardemen udara diluncurkan. Menurutnya, pasukan infanteri, artileri, dan berbagai unit kesatuan yang lain sudah siap di sekitar Jalur Gaza ketika pesawat-pesawat tempur Israel menghajar basis Hamas.


Kekuatan Moral

Dari perspektif militer, kekuatan Israel memang superior karena dilengkapi berbagai persenjataan tercanggih. Namun, Israel mungkin dibayangi pula oleh "kekalahannya" menghadapi Hezbollah di Lebanon, beberapa waktu lalu. Superioritas militer Israel mendapat ujian serius dari Hamas yang terbukti memiliki daya juang, stamina tempur, dan kekuatan moral yang amat tinggi.

Diimbuhi tekanan PBB dan dunia internasional secara moral, politis, dan mungkin juga militer, Hamas bakal diuntungkan dan sebaliknya merepotkan Israel. Pejuang Hamas akan mampu memberikan perlawanan maksimal, dan jika didukung negara-negara Arab dan kelompok-kelompok pejuang lainnya yang solider, mereka sanggup bertahan dalam war of attrition (perang berlanjut) dengan mengedepankan taktik gerilya kota. Indikasinya, jubir Brigade Ezzedine Al-Qassam, Abu Obeida, mengingatkan "ribuan pejuang Hamas akan menanti Israel di berbagai sudut kota di Gaza" (Kompas, 6/1).

Motif utama Israel dalam aksi militer, kali ini, belum sepenuhnya tersingkap, dan sepertinya bukan sekadar mengeliminasi serangan roket Hamas. Patut diduga Israel mengusung tujuan strategis demi pemerkuatan hegemoni di kawasan itu dengan membersihkannya dari kelompok militan fundamental seperti Hamas. Menhan Israel Ehud Barak, misalnya, menegaskan di depan Knesset (parlemen Israel), operasi militer belum selesai meski sudah berhasil memukul Hamas.

Hal ini merefleksikan rencana strategis Israel yang sangat mungkin telah diracik jauh-jauh hari sebelum aksi ini, yang dipicu secara gampang oleh aksi rocketing pejuang Hamas.

Sejumlah pengamat internasional pun tidak mengelak dari teori konspirasi tentang adanya kemungkinan situasi ini merupakan "kerjaan" badan intelijen tertentu.

Robert Dreyfuss (Devil's Game, 2007) menguak kiprah agen-agen CIA dan Mossad dalam menyuburkan gerakan-gerakan Islami fundamentalis di kawasan Timur Tengah. Terlepas dari bingkai persepsi semacam itu, de facto Hamas dikenal militan-fundamental is, sehingga Israel bernafsu untuk mengenyahkannya dari peta politik kawasan.

Namun, tujuan itu niscaya gagal tercapai karena Israel sendiri adalah fundamentalis ideologis, politis, dan religius. Ketika dua kelompok fundamentalis berbenturan, yang terpercik adalah api permusuhan abadi tanpa ujung.

Menurut saya, ada tiga tujuan aksi militer Israel. Pertama, meredam aksi rocketing Hamas. Kedua, melumpuhkan organisasi Hamas. Ketiga, sebagai tujuan jangka panjang (grand strategy) Israel. Dengan aksi ini rakyat Palestina diteror agar tidak coba-coba melawan Israel, seyogianya 'moderat' dan "baik-baik saja" (politik akomodatif), seperti Fatah/PLO. Jadi, aksi militer Israel ini merupakan bentuk terorisme yang dilakukan oleh negara (state terrorism) terhadap negara/kelompok lain.


Terus Hidup

Apakah Israel akan berhasil membungkam Hamas? Secara militer mungkin saja, tetapi secara ideologis jelas tidak. Akar ideologis Hamas yang telah mencengkeram kuat bumi Gaza, dan terutama di hati rakyat Palestina, akan terus hidup dan berkecambah lagi. Malah diperkirakan, kalaupun misalnya kelompok Hamas di Gaza berhasil diberangus Israel, ia akan berbiak di kawasan lain.

Dengan demikian, andaikan militer Israel akhirnya sukses menggulung perlawanan bersenjata Hamas, resistensi kelompok-kelompok radikal terhadap Israel akan menguat secara mondial dan terorisme global diprediksi kembali marak bergerak. Secara psiko-sosiologis, solidaritas antarkaum tertindas (atau yang mempersepsikan diri sebagai tertindas) lazimnya sangat kencang dan akan pecah dalam perlawanan bersama manakala salah satu kaumnya diinjak.

Secara global, situasi di Gaza harus direspons serius oleh seluruh dunia jika kita menghendaki api perdamaian tidak meredup. Dapat saja perlawanan terhadap Barat dan Amerika Serikat (yang dianggap sekutu Israel) kembali menggelegar dalam bentuk aksi-aksi teror. Secara teroretis, terorisme global pada galibnya adalah bentuk perlawanan terhadap kapitalisme global. Terorisme nasionalis dan fundamentalis sesungguhnya tak muncul begitu saja melainkan kebanyakan 'menjiplak' aksi teror yang pernah dilakukan kaum kapitalis sendiri.

Aksi AS dalam Perang Teluk 1991, misalnya, justru 'menginspirasi' rencana dan aksi teror yang menggelembung dan pecah di mana-mana. Apalagi, seperti disinyalir Daly & Wilson (1994), terorisme bisa lahir dari orang yang kalah dalam kompetisi global atau sebagai reaksi sosio-psikologis negatif kelompok pecundang.

Dalam figura keindonesiaan, para tokoh bangsa dan kaum agamawan perlu 'mengawal' kesadaran publik bahwa konflik Gaza bukanlah masalah agama. Solidaritas kita sebagai bangsa yang mayoritas Muslim tentu wajar, dan dari optik kemanusiaan pun kita harus mengutuk keras aksi Israel dan menekan dunia internasional untuk menghentikannya. Semoga damai kembali bersemi.


Penulis adalah pengamat masalah keamanan

http://www.suarapembaruan.com/ index.php? modul=news&detail=true&id=3443

Tidak ada komentar:

Posting Komentar