About Me

Subscribe now!Feeds RSS

Jejaring Saya

Donate Us

Menu Pesanan Anda:

Delivered by FeedBurner


Masukkan Code ini K1-FB4EEF-F
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

terhidang bersama secangkir teh hangat

Selasa, 04 Agustus 2009

"Dualisme"

Dualisme bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujatNya

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *

Dalam
sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggeris tahun 90 an
ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh
masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur
dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti
dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya.

Tapi
yang menarik giliran pelacur angkat bicara. "Saya memang pelacur. Dan
saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk
menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi
siapa yang perduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! Siapa!" ia
berteriak lantang. "Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang
pelacur tapi hati saya tetap suci". Hadirin pun bersorak.

Nampaknya
orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi
pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran
justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama
berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah filsafat
akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain. Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substances," tapi wujud materi dan jiwa tepisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.

Bahkan
konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur.
Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan.
Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum,
1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan
dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

Bagi
orang Mesir kuno Re adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan
kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan.
Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan
jahat. Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos
yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu
menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases
dan Vanes, meski berakhir damai.
Dalam
filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling
berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak,
baik-buruk dsb. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini
dikuasai oleh dua hal cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya
memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible.

Tapi
apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang
menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga
ada dan riel. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras.
Banyak itu itupun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap
saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa
dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar.
Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup
maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu
kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal
dari jiwa.

Dalam
kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan
dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan
ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga
yang sama. Dalam agama Zoaraster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada
Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra
Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan
adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.

Para
pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13
mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman
Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke
17 Descartes memodifikasinya. Baginya yang riel itu adalah akal sebagai
substansi yang berfikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance).
Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta
didunia materi (fisika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan
mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik
Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata
Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang
mencoba merenovasi doktrin dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang
lain.

Perang antara monisme dan dualisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esaan-an (tawhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism.
Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme,
tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas.
Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua intitas.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body)
tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa
jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya, jiwa selalu dianggap
baik dan raga pasti jahat. Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat
itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a'mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga.

Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah & jabariyyah).
Dalam filsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dichotomi
subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif. Kebenaran pun menjadi
dua kebenaran obyektif dan subyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran
ada dua absolut dan relatif. Dalam Islam konsep tawhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang subyek berfikir tawhidi.

Nampaknya
doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk
pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli
dalam film Indecent Proposal, "I slept with him but my heart is with you".
Seorang dualis bisa saja berpesan "lakukan apa saja asal dengan niat
baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata
`jalankan syariah sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah".
Kekacauan berfikir inilah kemudian yang melahirkan istilah "penjahat
yang santun", "koruptor yang dermawan", "atheis yang baik", "Pelacur
yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak
Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah, tapi otak
saya di Chicago". Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan
intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi fikirannya menghujatNya.

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Source : http://www.hidayatu llah.com/ index.php? option=com_ content&view= article&id= 8772:qdualismeq& catid=98: hamid-fahmi& Itemid=60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar